Palu, Alkhairaat.com- Dewan Pembina Lingkar Studi Aksi dan Demokrasi Indonesia (LS-ADI) Fahriyanto S. Maso’ama, SH. mengatakan Konstitusi Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 telah menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
“Nah disini kita tentu mampu memahami bahwa kekayaan alam yang di kelola oleh segelintir orang dengan cara yang Ilegal tentu tidak bisa memberikan manfaat bagi kesejahtraan rakyat sebab penambangan emas tanpa izin (PETI) tidak ada kewajiban retribusi atau pajak kepada daerah maupun negara, karana dikelola dengan cara mencuri dan merampok kekayaan alam secara diam-diam,” jelasnya saat menjadi salah satu narasumber Focus Group Discussion (FGD) LS-ADI di WestSide Cafe, Jalan Diponegoro Palu, Kamis (15/12/2022).
Dari sisi regulasi, katanya PETI melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
“Pada pasal 158 UU tersebut, disebutkan bahwa orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000. Termasuk juga setiap orang yang memiliki IUP pada tahap eksplorasi, tetapi melakukan kegiatan operasi produksi, dipidana dengan pidana penjara diatur dalam pasal 160,” tutur Fahri.
Selain itu menurutnya, di pasal 161 juga diatur bahwa setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya akan dipidana dengan pidana penjara.
“Dengan demikian bahwa kita berharap aparat penegak hukum dalam hal ini Polda dan kejati Sulteng Harus punya sikap dan tindakan yang jelas dalam mengusut dan menyeret pelaku tambang ilegal dan para cukong pemodalnya ke Pengadilan dan mendapat hukuman sesuai amanah UU. Hanya di sulteng PETI merajalela dan terbuka tanpa disentuh oleh hukum,” tandasnya
Ia menuturkan sifat hukum itu mengikat dan memaksa siapapun itu, harus patuh dan tunduk terhadap hukum yang berlaku di negeri ini.
“Tidak ada tebang pilih hukum. Sayang pada malam ini satupun dari APH tidak ada yang hadir untuk berdiskusi bersama kita,” katanya.
Menurut Fahri juga, salah satu kelalaian pemerintah ketika mengubah RTRW wilayah pertambangan tanpa adanya aspek transparansi dan akuntabilitas. Problem transparansi atau tidak adanya data dan informasi instansi terkait kepada masyarakat.
“Tidak terbukanya sebuah proses atau mekanisme, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum pada semua rantai proses dari industri pertambangan di Sulteng,” tuturnya.
Fahri mengungkapkan mekanisme pemberian kontrak atau perizinan, sudah semestinya berjalan secara terbuka dan transparan. Bukan hanya persoalan proses yang, kompetitif dan jujur, namun juga menyangkut hak-hak masyarakat yang harus diperhatikan.
“Terutama jika wilayah yang dijadikan konsesi pertambangan tersebut berada di permukiman warga, biasanya masyarakat tidak tahu bahwa sekitar rumahnya sudah masuk wilayah pertambangan” tutupnya. (***)