Jakarta, Alkhairaat.com – Anggota DPR RI Rendy Lamadjido mempertanyakan rasa empati Pemerintah Kota (Pemkot) terhadap warga Palu yang terdampak bencana alam pada 28 September lalu, pasalnya beberapa hari secara berturut pasangan WaliKota dan Wakil WaliKota Hidayat – Sigit tampak tidak pernah hadir untuk menangani puluhan ribu warga yang tengah kesulitan di pengunsian, sehingga Pemerintah Pusat harus mengambil alih penangan dilapangan termasuk mengenai persoalan evakuasi dan logistik yang seharusnya menjadi domain Pemerintah Kota.
“Pasca Bencana itu, saya melihat Pemerintah Daerah lumpuh sama skali, apalagi Pemerintah Kota Palu, saya tidak tau apakah mereka punya rasa empati atau tidak, sebab saya melihat hampir semua jajaran Pemerintah Kota tidak ada keterlibatannya dalam penanganan dilapangan tepat beberap hari berturut-turut seusai tsunami menerjang Palu,” ujar Rendy saat ditemui di Senayan City, Kamis (22/11/18) malam.
Legislator Tiga Periode itu menganggap musibah berupa gempa, tsunami dan Likuefaksi yang terjadi di Kota Palu merupakan Adzab. Hal itu, dinilai akibat dari perayaan ritual Palu Nomoni yang terkesan mengandung kemusyrikan.
“Ritual itu dilakukan masyarakat tatkalah ajaran Islam belum berkemabang di Sulteng. itu Adzab, karena kalau Allah SWT menurunkan Adzab, maka semua orang entah itu baik atau buruk akan ikut menjadi korban,” ujarnya.
Selain Pemkot, Rendy juga mengaku merasa kecewa terhadap kinerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Bandan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) karena dinilai tidak mejalankan tugasnya secara maksimal.
Menurut Rendy, jika merujuk pada Undang-Undang tentang bencana alam, kedua lembaga tersebut memiliki peranan yang signifikan. Bagaimana tidak, sebelumnya, bencana alam bagian dari tugas Kementerian Sosial, namun setelah disahkan UU Penanggulangan Bencana Alam, maka BPBD dan BNPB menjadi badan tersendiri yang memiliki tugas dan kewajiban khusus penanganan bencana, mulai dari merumuskan Standar Oprasional Prosedur (SOP) tentang penanggulangan sebelum bencana, hingga penanganan pasca bencana alam.
“Sampai saat ini, saya melihat BNPB dan BPBD belum memiliki Standar Oprasional Prosedur terkait penanganan bencana baik secara Nasional apalagi Daerah,” ujarnya.
Rendy menambahkan, salah satu bukti tidak adanya kejelasan gagasan terkait SOP tersebut, karena tidak pernah dilakukan sosialisasi tentang mitigasi pada setiap Daerah, termasuk di Provinsi Sulawesi Tengah itu sendiri. Padahal melalui sosialisasi mitigasi, warga akan diberikan pentunjuk terkait jalur evakuasi yang akan ditempuh ketika terjadi bencana.
Bahkan. Rendy, menanggap, terjadinya kesulitaan dalam penyaluran bantuan logistik di Kota Palu, dinilai akibat dari minimmnya sosialisasi mitigasi tersebut, sehingga saat terjadi bencana, warga dengan spontan lari berhamburan tanpa arah, dampaknya terlalu banyak titik yang menjadi pengunsian.
“Sosialisasi mitigasi masih sangat minim, atau mungkin tidak pernah dilakukan di Daerah, sehingga masyarakat ini tidak faham pada saat bencana mereka lari kemana, seharunya pada mitigasi itu warga diberi petunjuk tentang jalur yang akan ditempuh warga ketika terjadi bencana, dengan begitu warga akan terkordinir. Ini membuktikan bahwa BNPB maupun BPBD tidak siap menjalankan tugasnya,” ucap Rendy.
Meskipun begitu, penanganan penanggulangan becana di Sulteng dinilai tercepat dari seluruh penanganan bencana lainya di Indonesia, hal itu tidak terlepas adanya peranan aktif Pemerintah Pusat yang mengambil alih berbagai masalah prioritas di masyarakat.
“Tepat dua hari setelah Bencana di Sulteng Jokowi hadir mengunjungi korban, sekaligus meninjau langsung segala kebutuhan warga dilapangan, dan alhamdulillah, berkat itu, Bencana Sulteng menjadi penanganan tercepat,” tutup Rendy.(SUP)