Palu, Alkhairaat.com – Dua dekade lebih pasca reformasi Indonesia, kita masih menyaksikan dan merasakan praktik berdemokrasi yang jauh dari pengertian ideal. Padahal jika demokrasi adalah peaceful resolution on conflict (penyelesaian konflik secara damai) pada saat yang sama kita masih menyaksikan kecenderungan bangsa Indonesia menghadapi krisis kebangsaan yang hari-hari semakin meningkat dan tak terkendalikan.
Alief Veraldhi mengatakan bahwa, kalimat “Peringatan Darurat” Bukan hanya sekedar semboyan semata yang tak memiliki makna, disana ada cita-cita luhur para pejuang demokrasi yang telah lebih dulu menyalakan api perjuangan agar bangsa ini benar-benar memahami dalam menjalankan sistem Demokrasi. Gelombang transisi dan konsolidasi Indonesia menuju demokrasi yang lebih genuine dan autentik jelas merupakan proses kompleks dan panjang, telah banyak keringat, air mata dan darah yang bercucuran bahkan nyawa pun melayang, maka jangan biarkan hanya karna kepentingan seluruh keluarga Presiden Jokowi lalu semua cita-cita demokrasi itu sirna.
Genderang gerakan Peringatan Darurat telah ditabuh maka selanjutnya pompa dan transformasikan menjadi satu gerakkan yang lebih kuat, mandiri, dan terorganisasi dengan baik. Tujuannya, tentu mampu menjadi aktor alternatif dihadapan dominasi dan kuasa oligarki serta rezim predatoris Jokowi.
Hari-hari ini kita semua tahu bagaimana kuasa dan dominasi oligarki bermain menguatak-atik bangsa ini sesuka hati demi merampok semua sumber daya alam bagi kepentingan akumulasi modal individu dan kelompoknya. Disisi lain, kita juga dipertontonkan dengan rezim yang semakin hari semakin berwatak korporatis dan predatoris, yaitu suatu rezim yang membentangkan karpet merah bagi kuasa oligarki melalui penggembosan regulasi dan pembajakan demokrasi secara brutal.
Kalau kita masih punya rasa peduli dan cinta pada tanah air ini maka mari bergerak bersama, kita wajib berkonsolidasi!
Transisi dan konsolidasi menuju demokrasi yang setidaknya mencakup Reformasi dalam tiga bidang besar secara simultan. Pertama, Reformasi sistem (constitutional reforms), yang menyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar, dan perangkat legal sistem politik.
Kedua, Reformasi kelembagaan yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan (institusional reforms and empowerment) lembaga-lembaga politik. Ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik (politik culture) yang lebih demokratis.
Poin pertama dan kedua diatas merupakan upaya Reformasi yang dilakukan pada tataran legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Sedangkan pada poin ketiga, yakni pengembangan kultur politik demokratis, upaya itu harus dilakukan dengan melibatkan semua segmen masyarakat, dari kalangan elit hingga rakyat kebanyakan. Upaya paling tepat untuk melakukan Reformasi pada level ini adalah melalui proses pendidikan Demokrasi. Mengingat demokrasi bukan sesuatu yang taken for granted, ia harus diajarkan dan dipraktikkan secara terus-menerus.
Tidak seorang pun terlahir menjadi warga negara yang baik dan tidak ada bangsa yang terlahir demokratis, keduanya merupakan proses yang berkelanjutan sepanjang waktu, maka jalan satu-satunya agar demokrasi ini bisa berlanjut maka hentikan Nafsu Jokowi degan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.(MTG)