Palu, Alkhairaat.com – Beredarnya sebuh video dari kontraktor PT Citra Palu Minerals (PT CPM), yang mempertanyakan tanah adat Poboya serta mempertanyakan siapa raja yang mewakafkan tanah adat di Poboya, mendapat tanggapan serius dari lembaga adat Poboya, Kota Palu dan beberapa kabupaten di Sulteng.
Setelah membahas pernyataan Kontraktor PT CPM yang diketahui bernama Musliman itu dimasing – masing lembaga adat di kabupaten dan Kota Palu, akhirnya masalah ini dibawah dan dibahas di tingkat provinsi yang difasilitasi Badan Musyawarah Adat (BMA) Sulteng.
Rapat dewan adat yang difasilitasi BMA Sulteng ini, dilaksanakan di Banua Oge (Rumah Raja Palu) di Jalan Pangeran Hidayat, Kelurahan Lere, Kota Palu pada Sabtu (3/9/2022).
Rapat dewan adat itu, selain dihadiri Lembaga Adat Poboya dan Kota Palu, juga dihadiri beberapa lembaga adat di Sulteng diantaranya Lambaga Adat Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala, Kabupaten Parigi Moutong serta Kabupaten Poso.
Hadir juga Sekretaris BMA Sulteng Ardiansyah Lamasitudju, Bendahara BMA Sulteng Siti Norma Marjanu, perwakilan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulteng, serta beberapa lembaga adat dari Kecamatan Mantikulore, serta undangan lainnya.
Rapat dewan adat yang dipimpin Sekretaris BMA Sulteng Ardiansyah Lamasitudju ini merupakan lanjutan dari rapat sebelumnya pada 1 September 2022 di Banua Oge.
Pada rapat sebelumnya yang juga dihadiri Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulteng Sunarto, diawali dengan memberikan kesempatan kepada Ketua Lembaga Adat Poboya untuk menyampaikan permasalahan yang terjadi di Poboya serta video dugaan pelecehan oleh Kontraktor PT CPM bernama Musliman.
“Sebagai Ketua Lembaga Adat Poboya, saya mewakili seluruh masarakat Poboya sangat – sangat tidak terima dengan pernyataan kontraktor PT CPM dalam video yang tidak mengakui tanah adat di Poboya dan raja – raja di Sulteng,” ujar Ketua Lembaga Adat Poboya, Moh. Jafar Tondjigimpu dalam rapat dewan adat itu.
Ketua Lembaga Adat Poboya lalu memperdengarkan video berdurasi 2 menit 47 detik dari Musliman yang menyebutkan bahwa tidak ada tanah adat dan tidak ada raja – raja di Sulteng yang membuat masyarakat Poboya dan Sulteng secara umum tersinggung atas pernyataan kontraktor Pt CPM itu.
Setelah semua yang hadir mendengar bersama rekaman video itu, muncul usulan agar dilakukan kembali rapat dengan menghadirkan pihak BPN Sulteng.
Usulan itu, lalu ditandaklanjuti dengan menggelar kembali rapat dewan adat yang difasilitasi BMA Sulteng pada Sabtu (3/9/2022).
Dalam rapat dewan adat ini, perwakilan pihak BPN Sulteng, Supriadi yang hadir dalam rapat adat itu mengatakan, Kontraktor PT CPM Musliman salah memahami terkait kajian BPN dan yang bersangkutan tidak memiliki pemahaman luas tentang SK Gubernur Sulteng Nomor : 592.2/33/1993 yang ditandatangani oleh Gubernur Sulteng Aziz Lamadjido yang dia sebutkan dalam video itu.
“Jadi memang secara defakto atau secara kenyataannya, kerajaan yang dulu ada di Sulteng itu memang sudah tidak ada lagi. Namun masyarakatnya masih memelihara adat istiadat tersebut. Dalam undang – undang pokok agraria, itu menjamin keberadaan adat istiadat tersebut,” paparnya dalam rapat dewan adat di Banua Oge
Supriadi mengatakan, yang dimaksud dengan surat Gubernur Sulteng Nomor : 592.2/33/1993 itu adalah lokasi yang sudah tidak dikuasai lagi oleh masyarakat adat. Itu yang langsung dikuasai oleh negara.
Setelah beberapa tahun dikuasai secara turun – temurun oleh masyarakat, maka dibuatkan Surat Keterangan Penguasaan Tanah atau SKPT. Namun kalua lokasi itu dikuasai oleh adat, maka harus diakui keberadaannya.
“Memang penyataannya itu (Musliman), kami sangat sesalkan,” katanya.
Supriadi menjelaskan, memang di Sulteng sudah tidak ada lagi raja. Namun silsilahnya itu ada, sehingga harus tetap dijaga karena tidak bertantangan dengan hukum positif yang ada yakni hukum agraria. Sebab hukum agrari, berdiri di atas hukum adat istiadat. Itu jalas dalam pasal 5 undang – undang agraria.
“Makanya jika dia buat peryataan seperti itu, wajar jika dia disanksi adat,” tandas Supriadi.
Setelah mendengarkan penjelasan dari perwakilan BPN Sulteng, beberapa Lembaga adat yang hadir mengusulkan agar dilakukan sanksi adat atau givu kepada Kontraktor PT CPM Musliman.
Beberapa lembaga adat yang hadir, masing – masing mengusulkan sanksi givu kepada Musliman.
Sekretaris BMA Sulteng, Siti Norma Marjanu mengusulkan sanksi adat salakana bangumate dengan denda menyiapkan keperluan adat utuk mengganti proses hukuman mati secara material. Artinya, pelaksanaan adat untuk hukuman mati, mencuci mulut dan proses adat mendamaikan tosala (orang yang salah) dengan todea (masyarakat) bahwa tidak ada lagi kelanjutan dari masalah ini.
Ada juga usulan “nipali” yaitu pengusiran tosala dari tanah tokaili.
Dalam proses sidang adat nanti, tosala (Musliman) akan didampingi oleh lembaga adat dimana domisili yang bersangkutan yakni lembaga adat Palu Selatan.
Sedangkan dari Badan Musyawarah Adat Poso (Pamona dan Mori), menyampaikan sangsi adatnya kepada tosala yakni 7 ekor kerbau untuk masing – masing keadatan. Demikian juga pengurus lembaga adat patangota Kabupaten Parigi Moutong.
Dari dewan adat Kota Palu, Parigi dan Donggala mengusulkan 1 ekor kerbau, 1 ekor domba, 7 ekor ayam jantan merah bersama dengan kelengkapan prosesi adat kematian (guma/parang, piring, loyang, sompu/kain kavan.
Karena semua lembaga adat di Sulteng, masing – masing melayangkan sanksi givu (sangsi adatnya), maka BMA Sulteng akan memusyawarakannya di tingkat provinsi untuk menetapkan sangsi adat yang diharapkan bisa mewakili semua keadatan di Sulawesi Tengah.
Rencananya, rapat BMA Sulteng akan dilaksanakan pada Rabu, 7 September 2022 untuk menentukan sanksi givu dan kapan pelaksanaan sanksi givu itu dilaksanakan.
Seperti diketahui, sebelumnya beredar video berdurasi 2 menit 47 detik itu, telihat jelas kontraktor PT CPM bernama Musliman menyampaikan bahwa pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) sudah menyampaikan bahwa di Poboya atau di Sulawesi Tengah, belum ada kajian yang namanya kajian adat.
Dia bahkan mempertanyakan siapa raja di Poboya yang mewakafkan tanah kepada adat, sehingga ada tanah adat.
“Karena kita tidak tau siapa raja dulu di sini. Siapa yang mewakafkan tanah ini, raja harusnya, siapa raja, mana raja itu..belum ada yang sampai kesitu,” katanya dalam video itu.
Atas dasar itulah, dia menegaskan bahwa tidak ada namanya tanah adat. Hal itu kata dia, diperkuat dengan adanya keputusan Gubernur Sulteng Nomor : 592.2/33/1993 yang ditandatangani oleh Gubernur Sulteng Aziz Lamadjido kala itu yang menegaskan bahwa Sulawesi Tengah ini, semuanya adalah tanah swapraja yang diserahkan kepada pemerintah untuk dikelolah.
“Jadi, tidak ada namana tanah adat. Wilayah ke adatan, wilayah kerja adat itu ada. Jadi bukan tanah adat, tapi wilayah keadatan. Misalnya, disitu ada situs,” paparnya.
“Wilayah kerjanya adat Poboya itu, Wilayah Poboya. Jadi kalau ada yang salah bivi (salah bicara) saja, kena givu. Itu namanya sanksi, kalua disini givu. Itulah wilayah keadatan, ini bukan saya yang bicara, undang – undang yang bicara,” tegasnya.
Dalam video itu, dia juga menyampaikan bahwa pihaknya sudah melakukan sosialisasi. Artinya, tahapan kegiatan sudah berjalan. Yang perlu dilakukan saat ini katanya, adalah membuat strategi kegiatan sinergitas keterpadua dalam bekerja dalam rangka mencapai target – target produksi dan target – target maksud dan tujuan perusahaan ini bekerja.
“Kenapa kita harus capat target – target produksi itu, karena produksi ini juga menghasilkan dana. Dana itu juga yang dibagi ke kita. Itu juga kontribusi kita kepada negara, karena kami juga ditarget, kita semua perusahaan ini ditarget dengan adanya RKAB (Rencana Kerja Anggaran dan Biaya) harus menyetor sekian, berhasil atau tidak. Kalua tidak berhasil tetap kita setor, kan rugi kita,” tandasnya. (BOB)