Palu, Alkhairaat.com- Lingkar Studi Aksi dan Demokrasi Indonesia (LS-ADI) meminta kepada Bupati Parigi Moutong (Parimo), untuk meninjau kembali surat Edaran Bupati Parimo Nomor 443.32/2247/DISDIKBUD tanggal 16 Juni 2022, perihal penuntasan vaksinasi Covid-19 bagi pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik dalam penyesuaian pembelajaran di masa pandemi Covid-19 dengan tidak mencantumkan/menghapus poin 9 Surat Edaran tersebut.
Terkait dengan poin 9 Surat Edaran itu yang menyatakan bahwa orang tua/wali peserta didik diberikan pilihan untuk mengizinkan anaknya mengikuti pembelajaran tatap muka (PTM) bagi yang telah di vaksinasi minimal dosis 1 atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) bagi yang belum di vaksinasi dibuktikan dengan surat pernyataan orang tua/wali.
Putra Daerah Parimo Renaldi mengatakan, sesuai ketentuan Pasal 34 UU No 25 Tahun 2009 penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik di sektor pendidikan harus berprilaku cermat, profesional, tidak mempersulit dan tidak menyimpang dari prosedur.
“Sebab pilihan tersebut merupakan bentuk diskriminasi bagi siswa yang belum vaksin dan telah vaksin,” katanya, Selasa (19/07/2022).
“Sangat sulit juga bagi orang tua wali dimana belajar tatap muka merupakan hal penting bagi anak demi percepatan perkembanganya namun disisi lain harus mengikutkan anak untuk vaksinasi merupakan pilihan berat dimana vaksin anak ada efek sampingnya dan melihat gejala gejala negatif yang di timbulkan akibat vaksin,” tambahnya.
Ketua LS-ADI Komisariat Universitas Alkhairaat itu juga mengatakan, jangan sampai terjadi kesenjangan pembelajaran antara anak anak yang mengikuti PTM dengan anak anak yang mengikuti PJJ.
“Jangan sampai kesenjangan itu terjadi karena adanya perbedaan dalam mengakses pembelajaran di antara siswa apalagi siswa Sekolah Dasar. Dengan adanya perbedaan pembelajaran antar siswa bagi yang mengikuti PJJ akan rentan untuk mengalami tekanan psikologi dan gangguan kesehatan mental,” tutur Renaldi.
Menurutnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan, PJJ dianggap tidak efektif meningkatkan kemampuan peserta didik dan angka putus sekolah (APS) juga meningkat disebabkan oleh orang tua yang merasa PJJ tidak efektif dan mengartikan jika PJJ sama dengan tidak sekolah.
“Orang tua yang merasa pembelajaran jarak jauh yang diikuti oleh anaknya tidak memberikan kemampuan bagi mereka, dan merasa sama saja anak anak tidak sekolah, dapat disimpulkan bahwa PJJ memiliki dampak pada perkembangan siswa, selain itu guru merasa kesulitan melihat langsung perkembangan siswa, karena pembelajaran dilakukan di rumah, jangan sampai hal ini terus meningkatkan APS di Parimo,” terangnya.
Tentunya dengan tidak memperbolehkan siswa untuk pembelajaran tatap muka bagi yang belum vaksin, menurutnya sangat bertentangan dengan semangat pemerintah terdahulu yang mengeluarkan Undang-undang pendidikan nasional No 02/1989 Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, merupakan program Pemerintah untuk menjawab kebutuhan dan tantangan zaman.
“Berdasarkan Undang-undang Pendidikan Nasional No. 2/1989. Pemerintah berupaya meningkatkan taraf kehidupan rakyat dengan mewajibkan semua warga negara Indonesia yang berusia 7-12 tahun dan 12-15 tahun untuk menamatkan pendidikan dasar dengan program 6 tahun di SD dan 3 tahun di SLTP secara merata dan dengan di tambahkan lagi melalui PP No 47 Tahun 2008 dengan wajib belajar 12 Tahun,” jelas Renaldi.
Ia menilai kurangnya sosialisasi dan edukasi akan pentingnya vaksin sebagai upaya mencegah penularan Covid-19 menjadi salah satu faktor penyebab masyarakat takut akan divaksin.
“Seharusnya Pemda Parimo lebih intens memberikan edukasi dan sosialisasi tentang pentingnya vaksinasi Covid-19 sebelum vaksin diberikan agar masyarakat memahami manfaat dari penggunaan vaksin,” tutupnya. (***)