Oleh : Fahriyanto S.Maso’ama,.SH
Isu memperpanjang masa jabatan Presiden satu atau dua tahun kedepan dengan menunda Pemilu 2024 atau wacana Presiden 3 periode di dukung oleh beberapa partai politik dalam koalisi yang sudah menyatakan sikap diantaranya partai PAN, PKB dan Golkar.
Wacana ini terus dihujamkan kepada masyarakat dengan berbagai dalih dan alasan, tetapi apapun itu alasannya, bagi saya wacana penundaan pemilu 2024 atau presiden 3 periode adalah mengkhianati semangat reformasi.
Partai Politik, Ormas, dan Lsm yang menyatakan dan mengusulkan menunda pemilu 2024 atau presiden 3 periode, itu sah-sah saja sebagai aspirasi politik, tetapi pada umumnya dalam negara-negara demokrasi tidak ada istilah tiga periode atau memperpanjang masa jabatan dengan menunda Pemilu yang sudah diatur dalam konstitusi.
Contoh seperti di Amerika hanya 2 periode dan lama masa jabatannya lebih pendek dari Indonesia yaitu 4 tahun saja setiap periodenya kemudian dilakukan pemilihan kembali.
Walaupun dalam prespektif hukum itu konstitusional karena ada ruang atau mekanisme amandemen yang diatur dalam pasal 37 ayat 1-4 UUD 1945, apabila ketentuan pada pasal 7 UUD 1945 diamandemen presiden bisa dipilih kembali dalam masa jabatan 3 periode maka secara otomatis ketentuan dalam UU Pemilu 7 tahun 2017 pun pasti akan diubah karena harus mengacu pada ketentuan UUD 1945.
Perlu diketahui bersama kita pernah mempunyai sejarah tentang perioderisasi ataupun masa jabatan presiden beberapa kali mengalami perubahan sejak orde lama, orde baru dan era reformasi, sekilas singkat sejarah perjalanan perubahan konstitusi kita yang mengatur mengenai masa jabatan presiden sejak orde lama, orde baru sampai era Reformasi.
Masa jabatan presiden dan wakil presiden RI sudah diatur sejak zaman orde lama. Masa pemerintahan presiden RI pertama Ir. Soekarno, kendati terdapat beberapa penyesuaian dalam perjalanannya.
Pasal 7 UUD 1945 versi awal telah merumuskan masa jabatan presiden dan wakil presiden RI adalah 5 tahun. Namun, sempat dikeluarkan ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang pengangkatan presiden seumur hidup.
Ketetapan tersebut disahkan dalam sidang umum kedua majelis permusyawaratan rakyat sementara (MPRS) pada 15-22 Mei 1963 di Bandung.
Setelah era orde lama berakhir dan berganti dengan rezim orde baru di bawah pimpinan Soeharto selaku Presiden RI ke-2, aturan mengenai masa jabatan presiden dan wakil presiden RI kembali ke pasal 7 UUD 1945.
Hanya saja, meskipun masa jabatan telah dibatasi selama 5 tahun di setiap periodenya menurut pasal 7 UUD 1945, namun belum diatur mengenai batasan periode seseorang bisa menjabat sebagai presiden.
Hal inilah yang membuat Soeharto dapat mempertahankan kekuasaan sebagai presiden RI hingga 32 tahun, sebelum akhirnya lengser akibat gelombang reformasi 1998.
Setelah Indonesia memasuki orde reformasi, amandemen UUD 1945 baru dilakukan yakni sebanyak empat kali oleh MPR, termasuk pasal 7 yang mengatur tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden RI.
Amandemen pasal 7 UUD 1945 dilakukan pada sidang umum MPR tanggal 14-21 Oktober 1999. Hasilnya adalah adanya sedikit perubahan untuk pasal 7 dan
beberapa tambahan yang meliputi Pasal 7A, 7B, dan 7C.
Setelah amandemen tersebut, jabatan presiden dan wakil presiden hanya bisa dipegang selama 2 (dua) periode berturut-turut oleh seorang presiden yang sama.
Dalam situasi politik hari ini, hegemoni kekuasan sangat kuat dan mengakar buktinya partai-partai politik yang bersebrangan/oposisi dengan kekuasaan mengalami goncangan bahkan terancam pecah. Contoh seperti beberapa bulan yang lalu terjadi di internal partai Demokrat ada dualisme kepemimpinan sebelum akhirnya diputuskan di menkumham.
Saat ini Partai penguasa sangat Mungkin bisa mendorong melakukan amandemen UUD 1945 karena parlemen dikuasai oleh partai-partai besar yang memiliki banyak kursi di parlemen. Dengan demikian maka bukan hal mustahil amandemen itu terjadi dan isu penundaan pemilu 2024 serta wacana presiden 3 periode bukan hal yang tidak mungkin terwujud.
Apabila hal demikian terus di kampanyekan dan ada upaya yang kuat dari MPR dalam hal ini para parpol koalisi maka saya menganggap sikap para politisi parpol, ormas atau kelompok lain yang mendukung atau bahkan mendorong perpanjangan masa jabatan atau penundaan pemilu 2024 adalah sikap mengkhianati perjuangan reformasi tahun 1998 dengan alasan apapun.
Tetapi yang harus menjadi catatan kita meskipun upaya amandemen dilakukan ditingkatan parpol maupun elit politik, maka kita sebagai rakyat punya hak untuk menolak dan menggagalkannya dengan kekuatan rakyat dan kesadaran tentang partisipasi politik rakyat dalam menentukan setiap keputusan-keputusan menyangkut kehidupan dan menjaga marwah demokrasi kita.
Karena sejatinya rakyatlah pemilik sah negeri ini, bukan parpol atau kelompok tertentu dan rakyat penentu keputusan terbaik bagi mereka sendiri, dalam negara demokrasi yang berkuasa adalah rakyat jadi apabila ada satu keputusan tidak berdasar pada aspirasi dan partisipasi rakyat bisa dipastikan keputusan itu dilakukan oleh kekuasaan atau rezim yang otoriter dan tidak demokratis.
Penulis Merupakan Dewan Pembina Nasional LS-ADI