Oleh: Fahriyanto S. Maso’ama (Anak Petani)
Wacana pembangunan di Indonesia kerap diidentikkan dengan eksploitasi sumber daya alam, terutama melalui industri pertambangan. Tak sedikit daerah yang menggantungkan masa depan ekonominya pada aktivitas tambang, dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) serta menarik arus investasi. Namun, pertanyaannya: benarkah tambang merupakan satu-satunya jalan menuju kesejahteraan yang adil dan berkelanjutan?
Industri pertambangan memang menawarkan keuntungan ekonomis yang menggiurkan dalam jangka pendek. Penerimaan negara, penciptaan lapangan kerja, dan meningkatnya aktivitas ekonomi lokal sering dijadikan indikator keberhasilan pembangunan. Akan tetapi, di balik angka-angka tersebut, tersimpan realitas lain yang tak bisa diabaikan: konflik agraria yang tak kunjung selesai, kerusakan lingkungan yang masif, dan ketimpangan sosial yang semakin melebar. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan yang terlalu bergantung pada tambang mengandung risiko besar—baik secara ekologis maupun sosial.
Sebagai seseorang yang lahir dari keluarga petani, saya menyaksikan langsung bagaimana kehidupan sederhana yang selaras dengan alam mampu menciptakan ketahanan dan keberlanjutan jangka panjang. Pertanian, bila dikelola dengan baik, bukan hanya menyediakan pangan bagi masyarakat, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan: kerja keras, kesabaran, dan keselarasan dengan lingkungan. Di tengah krisis iklim dan degradasi ekologis, sektor pertanian justru tampil sebagai sektor yang tangguh dan berdaya tahan tinggi.
Karena itu, penting bagi kita untuk menata arah pembangunan yang lebih berkelanjutan dan inklusif. Sektor pertanian, kelautan, dan energi terbarukan menawarkan potensi besar yang selama ini belum dimaksimalkan. Investasi di bidang-bidang tersebut tidak hanya akan membuka lapangan kerja luas, tetapi juga menjaga keberlangsungan lingkungan hidup serta memperkuat kedaulatan pangan nasional.
Bukan berarti sektor pertambangan harus ditinggalkan sepenuhnya. Eksploitasi sumber daya tambang tetap dapat dilakukan, asalkan dikelola dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan pada masyarakat sekitar. Manfaat ekonominya pun harus jelas terukur—mulai dari peningkatan akses pendidikan dan kesehatan hingga jaminan sosial bagi warga lingkar tambang. Lebih jauh, kontribusi tambang terhadap PAD harus digunakan untuk memperkuat fondasi ekonomi lokal, bukan sekadar membiayai proyek-proyek jangka pendek.
Persoalan utama kita sesungguhnya terletak pada bagaimana menempatkan tambang dalam kerangka pembangunan yang lebih luas—pembangunan yang berpihak pada keberlanjutan dan keadilan sosial. Negara perlu memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam benar-benar ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan hanya keuntungan segelintir pihak.
Pembangunan sejati adalah pembangunan yang tidak mengorbankan lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal. Ia harus bertumbuh dari akar—dari desa-desa, ladang, dan laut; dari para petani dan nelayan yang menjadi penopang kehidupan bangsa. Bila negara ini sungguh-sungguh menata ulang prioritas pembangunannya, maka pertanian dapat menjadi tulang punggung ekonomi yang tidak hanya produktif, tetapi juga lestari.
Menuju kesejahteraan berkelanjutan bukanlah mimpi utopis. Ia adalah pilihan rasional dan strategis. Yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk menempuh jalan berbeda—menempatkan manusia dan alam sebagai inti dari pembangunan. Sebab sejatinya, tambang bukan satu-satunya jalan menuju kesejahteraan. Dengan merawat tanah, air, dan udara, kita sesungguhnya sedang menanam masa depan yang adil dan lestari bagi generasi mendatang.(MTG)